Skip to main content

Tata Hukum Peraturan Negara dan Daerah Tentang Hukum dan Pranata Pembangunan


TATA HUKUM PERATURAN NEGARA DAN DAERAH TENTANG HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN




Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Hukum dan Pranata Pembangunan (HM032203)












Disusun Oleh:
Ibrahim Husein                                 22317798
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK 2020

KAJIAN TEORI, LANDASAN HUKUM, DAN PENJABARAN
PASAL-PASAL

1.1.          PENGERTIAN HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN

Apa yang dimaksud dengan Hukum Pranata Pembangunan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum merupakan “peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah;” atau “undang- undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.”

Sedangkan pranata adalah “sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat- istiadat dan norma yang mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat; institusi;”

Dan pembangunan adalah “proses, cara, perbuatan membangun; (infrastrukt ur) pembangunan prasarana.”

Dapat disimpulkan bahwa Hukum Pranata Pembangunan merupakan peraturan resmi yang mengikat dan mengatur suatu sistem dan organisasi dalam proses pembangunan prasarana infrastruktur untuk mewujudkan kesejahteraan hidup.
1.2.              STRUKTUR HUKUM PRANATA DI INDONESIA
1.2.1.         Legislatif (MPR-DPR), pembuat produk hukum.
1.2.2.         Eksekutif (Presiden-pemerintahan), pelaksana perUU yg dibantu oleh Kepolisian (POLRI) selaku institusi yang berwenang melakukan penyidikan; JAKSA yang melakukan penuntutan.
1.2.3.         Yudikatif (MA-MK) sebagai lembaga penegak keadilan.
1.2.4.         Mahkamah Agung (MA) beserta Pengadilan Tinggi (PT) & Pengadilan Negeri (PN) se- Indonesia mengadili perkara yang kasuistik.
1.2.5.         Mahkamah Konstitusi (MK) mengadili perkara peraturan PerUU.
1.2.6.         Lawyer, pihak yang mewakili klien untuk berperkara di pengadilan, dsb.

1.3.       UNSUR-UNSUR HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN
Hukum Pranata Pembangunan memiliki 4 unsur, yaitu:

1.3.1.         Manusia
Unsur pokok dari pembangunan yang paling utama adalah manusia. Karena manusia merupakan sumber daya  paling utama dalam menentukan pengembanga n pembangunan.
1.3.2.         SDA
Sumber daya alam merupakan faktor penting dalam pembangunan yang mana sebagai sumber utama dalam pembuatan bahan material untuk proses pembangunan.
1.3.3.         Modal
Modal faktor penting untuk mengembangkan aspek pembangunan dalam suatu daerah. Apabila semakin banyak modal yang tersedia semakin pesat pembanguna n suatu daerah.
1.3.4. Teknologi
Teknologi saat ini menjadi faktor utama dalam proses pembangunan. Dengan teknologi dapat mempermudah, mempercepat proses pembangunan.

1.4.       LANDASAN HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Dasar Hukum Pranata Pembangunan ditetapkan dalam

I.                                  UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Dalam UU ini terdapat 10 bab yang terdiri dari 42 pasal yang mengatur tentang:
BAB 1.     Ketentuan Umum (2 pasal), berisi tentang:
·       Fungsi dari rumah
·       Fungsi dari Perumahan
·       Apa itu Pemukiman baik juga fungsinya
·       Satuan lingkungan pemukiman
·       Prasarana lingkungan
·       Sarana lingkungan
·       Utilitas umum
·       Kawasan siap bangun
·       Lingkungan siap bangun
·       Kaveling tanah matang
·       Konsolidasi tanah permukiman

BAB 2. Asas dan Tujuan (2 pasal), berisi tentang:
Penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Tujuan penataan perumahaan dan pemukiman:
·        Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
·        Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, danteratur.
·        Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional.
·        menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lain.
BAB 3. Perumahan (13 pasal), berisi tentang:
·       Hak untuk menempati /memiliki rumah tinggal yang layak;
·       Kewajiban dan tanggung jawab untuk pembangunan perumahan dan pemukiman;
·       Pembangunan dilakukan oleh pemilik hak tanah saja;
·       Pembangunan yang dilakukan oleh bukan pemilik tanah harus dapat persetuan dari pemilik tanah / perjanjian;
·       Kewajiban yang harus dipenuhi oleh yang ingin membangun rumah
/ perumahan;
·       Pengalihan status dan hak atas rumah yang dikuasai Negara;
·       Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah;
·       Sengketa yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan rumah diselesaikan melalui badan peradilan;
·       Pemilikan      rumah     dapat   beralih      dan   dialihkan                        dengan    cara pewarisan;

BAB 4.     Pemukiman (11 pasal), berisi tentang:
·       Pemenuhan         kebutuhan         permukiman                              diwujudkan      melalui pembangunan kawasan permukiman skala besar yang terencana;
·       Tujuan pembangunan permukiman;
·       Pelaksanaan ketentuandilaksanakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah;
·       Program pembangunan daerah dan program pembangunan sektor mengenai prasarana, sarana lingkungan, dan utilitas umum;
·       Penyelenggaraan pengelolaan kawasan siap bangun dilakukan oleh badan usaha milik Negara;
·       Kerjasama antara pengelola kawasan siap bangun dengan BUMN;
·        Di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan siap bangun Pemerintah memberikan penyuluhan dan bimbingan, bantuan dan kemudahan;
·        Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh badan usaha dibidang
pembangunan perumahan;
·       Tahap - tahap yang dilakukan dalam pembangunan lingkungan siap bangun;
·       Kegiatan - kegiatan untuk meningkatkan kualitas permukiman;
·       dll.
BAB 5.     Peran Serta Masyarakat (1 pasal), berisi tentang:
·       Hak   dan   kesempatan   yang     sama     untuk     turut            serta dalam pembangunan perumahan / permukiman;
·       Keikutsertaan dapat dilakukan perorangan / bersama. BAB 6. Pembinaan (6 pasal), berisi tentang:
·       Bentuk pembinanaan pemerintah dalam pembangunan;
·        Pembinaan dilakukan pemerintah di bidang perumahan dan pemukiman;
·        Pembangunan perumahan dan permukiman diselenggarak an berdasarkan Rencana Tata Ruang wilayah perkotaan dan Rencana Tata Ruang wilayah;

BAB 7. Ketentuan Pidana (2 pasal), berisi tentang:
·        Hukuman yang diberikan pada yang melanggar peraturan dalam pasal 7 baik disengaja ataupun karenakelalaian;
·        dan hukumannya dapat berupa sanksi pidana atau denda. BAB 8. Ketentuan Lain-lain (2 pasal), berisi tentang:
·        Penerapan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 tidak menghilangkan kewajibannya untuk tetap memenuhi ketentuan Undang-undang ini;
·        Jika kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak
dipenuhi oleh suatu badan usaha di bidang pembanguna n perumahan dan permukiman, maka izin usaha badan tersebut dicabut.
BAB 9. Ketentuan Peralihan (1 pasal), berisi:
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan di bidang perumahan dan permukiman yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.
BAB 10. Ketentuan Penutup (2 pasal), berisi tentang:
·        Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang Pokok-pokok perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 nomor 3,
·        Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat- lambatnya 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.

II.                                    UU No. 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang Umum, dimana dalam  UU ini terdapat 8 bab yang terdiri dari 32 pasal yang mengatur tentang:
BAB 1.     Ketentuan Umum (1 pasal), berisi tentang:
·       Yang dimaksud dengan ruang
·       Pengertian Tata Ruang
·       Penataan ruang
·       Rencana Tata Ruang

·       Yang dimaksud wilayah
·       Yang dimaksud kawasan
·       Kawasan lindung
·       Kawasan budi daya
·       Kawasan pedesaan
·       Kawasan perkotaan
·       Kawasan tertentu
BAB 2. Asas dan Tujuan (2 pasal), berisi tentang:
·        Penataan ruang berasaskan Pemanfaatan Ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan
·        berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Juga berdasarkan keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindunga n hukum.
·        Tujuan penataan ruang:
·        terselenggaranya Pemanfaatan Ruang berwawasan lingkunga n yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
·        terselenggaranya pengaturan Pemanfaatan Ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya;
·        tercapainya Pemanfaatan Ruang yang berkualitas. BAB 3. Hak dan Kewajiban (3 pasal), berisi tentang:
·        Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai
·        ruang sebagai akibat penataan ruang.
·        Setiap orang berhak dan berkewajiban untuk berperan serta dalam menyusun dan memelihata ruang;
·        Setiap orang berkewajiban menaati Tata Ruang yang ditetapkan. BAB 4. Perencanaan, Pemanfatan, dan Pengendalian (12 pasal), berisi:
·        Bagian Pertama: Umum (6pasal)
o   Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, aspek administratif, aspek kegiatan kawasan pedesaan, wilayah Nasional, dll.
o   Cangkupan wilayah penataanruang.

o   Penataan ruang kawasan perdesaan, penataan ruang kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasantertentu.
o   Penyelenggaraan penataan ruang kawasan pedesaan, penataan ruang kawasan perkotaan, dan penataan ruang kawasan tertentu.
o   dll.
·       Bagian Kedua: Perencanaan (2 pasal)
o   Perencanaan Tata Ruang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan
o   serta penetapan Rencana Tata Ruang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
o   Rencana Tata Ruang ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai dengan jenis perencanaannya secara berkala.
o   Ketentuan mengenai kriteria dan tata cara peninjauan kembali dan atau penyempurnaan Rencana Tata Ruang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
o   Pertimbangan melakukan perencanaan Tata Ruang.
o   Perencanaan Tata Ruang mencakup perencanaan struktur dan pola Pemanfaatan Ruang, yang meliputi tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya.
o   Perencanaan Tata Ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan keamanan sebagai subsistem perencanaan Tata Ruang, tata cara penyusunannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.
·       Bagian Ketiga: Pemanfaatan (2 pasal)
o   Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui pelaksanaan program Pemanfaatan Ruang beserta pembiayaannya, yang didasarkan atas Rencana Tata Ruang.
o   Pemanfaatan Ruang diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang.
o   Pengembangan Pemanfaatan Ruang.

o   Ketentuan mengenai pengelolaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
·       Bagian Keempat (2 pasal):
o   Pengendalian Pemanfaatan Ruang diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban tentang Pemanfaatan Ruang.
o   Pengawasan terhadap Pemanfaatan Ruang diselenggarakan dalam bentuk pelaporan, pemantauan, dan evaluasi.
o   Penerbitan terhadap Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang diselenggarakan dalam bentuk pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
BAB 5.     Rencana Tata Ruang (5 pasal), berisi tentang:
·       Pembedaan rencana tata ruang.
·       Rencana Tata Ruang wilayah Nasional merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah Negara.
·       Isi rencana tata ruang wilayah.
·       Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Nasional adalah 25 tahun.
·       Rencana Tata Ruang wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
·       Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
·       Isi Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Dae rah Tingkat I.
·       Jangka     waktu  Rencana     Tata  Ruang   wilayah                 Propinsi Daerah Tingkat I adalah 15 tahun.
·       Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan daerah.
·       Rencana      Tata   Ruang     wilayah                     Kabupaten/Kotamadya       Daerah Tingkat II.
·       Isi Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.

·        Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan.
·        Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II adalah 10 tahun.
·        Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II ditetapkan dengan peraturan daerah.
·        Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kawasan, pedoman, tata cara, dan lain-lain yang diperlukan bagi penyusunan rencana tata ruang kawasan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB 6. Wewenang dan Pembinaan (6 pasal), berisi tentang:
·        Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.
·        Wewenang Pemerintah dalam pelaksanaan Penataan Ruang.
·        Pelaksanaan ketentuan dilakukan dengan tetap menghor mati hak yang dimiliki orang.
·        Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
·        Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menyelenggarakan penataan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
·        Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II menyelenggarakan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II.
·        Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang.
·        Tugas koordinasi termasuk pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya yang berskala besar dan berdampak penting.
·        Perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya
ditetapkan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

·        Penetapan mengenai perubahan fungsi ruang menjadi dasar dalam peninjauan kembali Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I dan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II.
BAB 7. Ketentuan Peralihan (1 pasal), berisi:
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum berdasarkan Undang-undang ini.
BAB 8. Ketentuan Penutup (2 pasal), berisi:
·        Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Ordonansi Pembentukan Kota (Stadvormingsordonantie Staatblad Tahun 1948 Nomor 168, keputusan letnan Gubernur jenderal tanggal 23 Juli 1948 no. 13) dinyatakan tidak berlaku.
·        Undang-undang ini berlaku pada tanggal diundangkan.
·        Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Adapun regulasi mengenai pembangunan infrastruktur yakni :

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1998

TENTANG
KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA SWASTA DALAM PEMBANGUNAN DAN ATAU PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR


1.5.       HUBUNGAN HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN

Ada lima tahapan untuk memahami proses kebijakan publik itu agar dapat berjalan sesuai dengan tujuannya, adalah
1)                 Tahap agenda permasalahan
2)                 Tahap formulasi kebijakan
3)                 Tahap adopsi
4)                 Tahap implementasi, dan
5)                 Tahap evaluasi.

Kenyataan yang terjadi antara kebijakan yang dikeluarkan dengan hasil yang akan diharapkan terdapat penyimpangan, terdapat penyalahgunaan, dan terdapat inkonsistensi.

1.6.       PENGAPLIKASIAN HUKUM PRANATA PEMBANGUNAN

Apa pentingnya Hukum Pranata Pembangunan dan mengapa harus ada yang namanya Hukum Pranata Pembangunan. Dalam membangun suatu bangunan diperlukan adanya

hukum yang berlaku. Pentingnya kita mempelajari hukum pranata pembangunan ini juga dapat membuat kita lebih memahami peraturan - peraturan serta hal - hal apa saja yang harus dilakukan dalam membangun suatu bangunan. Kita tidak hanya merancang dan mendirikan namun juga memperhatikan hukum yang telah berlaku agar suatu daerah tersebut dapat tertata rapih.

Sebagai calon arsitek, dalam membengun suatu bangunan baik itu rumah, sekolah, maupun bangunan tinggi tentunya kita memerlukan ijin dari pemerintah setempat. Izin yang dimaksud tak lain dan tak bukan ialah IMB (Izin Mendirikan Bangunan). IMB merupakan perizinan yang diberikan oleh kepala daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan persayaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.

IMB juga merupakan salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum. Kewajiban setiap orang atau badan yang akan mendirikan bangunan untuk memiliki Izin Mendirikan Bangunan diatur pada Pasal 5 ayat 1 Perda 7 Tahun 2009.

IMB akan melegalkan suatu bangunan yang direncanakan sesuai dengan Tata Ruang yang telah ditentukan. Selain itu, adanya IMB  menunjukkan bahwa rencana konstruksi bangunan tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan dengan maksud untuk kepentingan bersama. Pada umumnya proses IMB ialah 25 hari dari tanggal diajukannya IMB. Jangka waktu tersebut dapat berbeda - beda tergantung kebijakan daerah setempat serta kelengkapan.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1)                 Perikatan yang timbul dari persetujuan
2)                 Perikatan yang timbul dari undang undang
3)                 Perikatan terjadi bukanperjanjian

Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan,peristiwa atau keadaan.Oleh karena itu dibentuk undang-undang oleh masyarakat yang diakui dan diberi akibat hukum. Dan dalam pengertiannya perikatan dapat terjadi jika sudah melalui perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan menimbulkan suatu hak dan kewajiban.

Salah satu bentuk dari hukum perikatan adalah kontrak kerja. (Agar pihak pemberi tugas dan pelaksana tugas tidak ada yang merasa dirugikan dan puas akan pekerjaan tsb.sehingga masing- masing pihak dapat menyadari,memahami dan melaksanakan kewajibannya serta mengetahui apa-apa saja yang menjadi haknya dan apabila salah satu pihak merasa dirugikan karena terdapat hal –hal yang tidak dilaksanakan pihak lainnya,yang sudah tercantum dalam kontrak kerja, maka pihak tersebut dapat memberikan sanksi kepada pihak lainnya yang telah disepakati bersama, dapat pula menuntutnya ke pengadilan.)

1.                    Pemberi Tugas (Owner)

Pihak pihak yang menghendaki suatu pekerjaan dilaksanakan oleh pihak lain sehubungan dengan kepentingannya atas hasil pekerjaan tersebut, atau wakilnya yang ditunjuk dalam Pekerjaan.

2.                    Manajemen Konstruksi (Construction Management)

Bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas dalam memimp in, mengkoordinir,dan mengawasi pelaksaan pekerjaan di lapangan pada batas-batas yang telah ditentukan baik teknis maupun administratif. Dalam menjalank an tugasnya MK dibantu oleh beberapa orang yang masing- masing mempunya i keahlian dalam disiplin ilmu yang diperlukan proyek.

3.                    Konsultan Perencana Arsitektur (Architectural Consultant)

Badan/Organisasi yang berada langsung di bawah owner, karena memega ng peranan penting untuk perencanaan awal/konsep desain dari segi arsitektur dan estetika ruangan. Tugasnya yaitu:
Membuat gambar/desain dan dimensi bangunan secara lengkap dengan spesifikas i teknis, fasilitas dan penempatannya.
Menentukan spesifikasi bahan bangunan untuk finishing pada bangunan proyek ini. Membuat gambar-gambar rencana dan syarat-syarat teknis secara administ rasi untuk pelaksanaan proyek.
Membuat perencanaan dan gambar-gambar ulang atau revisi bilamana diperluka n. Bertanggung jawab sepenuhnya atas hasil perencanaan yang dibuatnya apabila sewaktu-waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

4.                    Konsultan Perencana Struktur (Structural Consultant)

Badan/Organisasi yang bertugas merencanakan dan merancang struktur yang sesuai dengan keinginan pemilik proyek melalui kontraktor utama, baik struktur atas maupun struktur bawah dengan mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:

kondisi tanah, fungsi bangunan, bentuk bangunan (segi arsitektur), kondisi lahan, serta kondisi alamnya. Tugas & wewenangnya:
Membuat perhitungan seluruh proyek berdasarkan teknis yang telah ditetapkan sebelumnya.
Membuat rancangan detail yang meliputi pembuatan gambar-gambar detail serta rincian volume pekerjaan.
Memberikan penjelasan atas permasalahan yang timbul selama masa konstruksi.

5.                    Konsultan    Perencana   Mekanik   &   Elektrik      (Mechanical   / Electrical Consultant)

Badan/Organisasi yang ahli dalam bidang Mechanical dan Electrical. Merencanakan instalasi yang menggunakan tenaga mesin dan listrik serta berbagai perlengkapan utilitas seperti misalnya AC, perlengkapan penerangan, plumb ing, generator, pemadam kebakaran, telepon, dan sound system sesuai dengan keadaan dan fungsi bangunan.
Memberikan penjelasan pada waktu rapat, menyusun dokumen pelaksanaan dan melakukan pengawasan berkala dan melaporkannya pada kontraktor utama.

1.7.               Regulasi Pembangunan Infrastruktur Transportasi

1.8.        UU No 38 tahun 2004 tentang Jalan

Undang-undang ini disusun dengan mempertimbangkan fungsi jalan sebagai salah satu sarana transportasi yang merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya untuk memajukan kesejahteraan umum. Undang-undang ini juga disusun untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan seperti perkembangan otonomi daerah, tantangan persaingan global serta tuntutan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jalan. Dalam ketentuan Bab V tentang Jalan Tol antara lain dinyatakan bahwa pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau badan usaha yang memenuhi persyaratan.

1.9.        UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran


Undang-undang No 17 tahun 2008 tentang pelayaran merupakan suatu perwujudan upaya untuk meningkatkan dan mendorong kemajuan kegiatan pelayaran di Indonesia sebagai negara maritim. Undang- undang ini juga membuka kemungkinan partisipasi swasta dalam pengelolaan pelabuhan yang selama ini dilakukan secara monopoli. Partisipasi swasta tersebut termasuk investor asing yang dimungkinkan untuk memiliki saham yang cukup besar.



1.10.      UU No 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian


Sebagai salah satu moda transportasi darat yang strategis, pengelolaan perkereta-apian memerlukan penataan agar tidak saja mampu menjamin keselamatan dan keamanan yang lebih baik, namun juga terjangkau oleh masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan itu, terbukanya kemungkinan partisipasi masyarakat melalui swasta, baik asing maupun lokal menjadi suatu kebutuhan yang perlu diakomodasikan. Undang-undang ini dirumuskan untuk menjawab kebutuhan tersebut.

1.11.      UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan


UU No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan menggantikan UU Penerbangan sebelumnya, yaitu UUU No 15 tahun 1992. Dari sisi materi muatan, UU ini boleh dikatakan sangat komprehensif karena terdiri dari 24 Bab dan 466 pasal. Hal itu tidak mengherankan, mengingat adanya prasyarat dari Uni Eropa tentang dimasukkannya ketentuan-ketentuan tertentu, khususnya yang menyangkut Keselamatan Penerbangan dalam Undang-Undang Penerbangan tersebut apabila larangan terbang maskapai penerbangan Indonesia ke Uni Eropa hendak dicabut. Kebijakan langit terbuka (open sky policy) juga tercermin dari undang-undang ini, yang tidak hanya meliputi pemilikan dan pengoperasian maskapai penerbangan, namun juga mencakup pengelolaan bandar udara.

1.12.      UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal


Undang-undang tentang Penanaman Modal memang dirancang sebagai undang-undang yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing investasi Indonesia. Terdapat berbagai bentuk insentif penanaman modal yang ditawarkan, termasuk namun tidak terbatas



pada: perlakuan yang sama terhadap investor asing maupun lokal; jaminan tidak dilakukannya nasionalisasi dan pengembilalihan hak milik asing; terbukanya bidang-bidang usaha untuk kegiatan penanaman modal asing; tidak adanya keharusan divestasi; kemungkinan kepemilikan saham asing yang lebih besar; lebih terbukanya kemungkinan ekspatriat bekerja di Indonesia; dan lain- lain.

1.13.    Undang-undang No 7 tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan UU No 39 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Sebagai insentif bagi kegiatan investasi, pernah diterapkan berbagai skema insentif pajak, seperti: tax holiday; amortisasi yang dipercepat, keringanan pajak, dsb. Skema insentif pajak tersebut berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan perundang-undangan di bidang perpajakan. Kepentingan investor yang perlu diperhatikan dalam pembangunan investasi infrastruktur adalah adanya kepastian hukum dan konsistensi implementasi di bidang perpajakan. Tentu saja beberapa skema insentif yang bersifat khusus juga perlu dipertimbangkan.

1.14.                                                                                                                                          Undang-undang No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan


Untuk mendorong investasi, dalam UU No 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan terdapat beberapa fasilitas dari sisi kepabeanan yang diberikan kepada investor, termasuk namun tidak terbatas pada pembebasan bea masuk barang modal, percepatan pelayanan kepabeanan, pemberian prioritas, dsb. Fasilitas tersebut dapat diberikan, misalnya terhadap barang modal, apabila telah dimasukkan dalam ”master list” barang modal yang disetujui oleh BKPM. Upaya penyempurnaan UU kepabeanan saat ini sedang dilakukan dalam rangka: penyederhanaan prosedur pemeriksaan kepabeanan; perluasan



fungsi tempat penimbunan berikat; pengembangan sistem EDI (”electronic data interchange”); penetapan kriteria yang jelas jalur hijau dan jalur merah.

1.15.      Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Atas dasar perundang-perundangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan saat ini, masih terdapat beberapa masalah yang masih mengganjal dari sisi kepentingan investor yang memerlukan penyempurnaan. Ketentuan-ketentuan di bidang ketenagakerjaan yang masih perlu direvisi menyangkut, antara lain: upah; pemutusan hubungan kerja; pesangon; cuti; penyelesaian sengketa perburuhan; maraknya demo dan pemogokan buruh, masalah outsourcing dan kontrak kerja, dan lain-lain Disamping itu diperlukan pula insentif yang berkaitan dengan ijin penggunaan tenaga kerja asing.

1.16.      Undang-undang No 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian


Bentuk pelayanan keimigrasian yang baik, termasuk ijin tinggal sementara, visa kerja merupakan bentuk insentif bagi investor dalam melakukan kegiatan investasi.

1.17.      Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Agraria


Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Agraria memberikan hak- hak tertentu atas tanah seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai , dan lain-lain Namun khusus mengenai hak milik tidak dapat diberikan kepada individu atau badan hukum asing. Salah satu bentuk insentif bagi kegiatan investasi dari segi hak-hak atas tanah adalah adanya upaya untuk memperpanjang jangka waktu hak-hak atas tanah seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, di mana hak-hak tersebut dapat dijadikan hak tanggungan.



1.18.      Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol


Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol dirumuskan sebagai salah satu bentuk penjabaran dari UU No 38 tahun 2004 tentang Jalan. Peraturan Pemerintah ini mengatur secara rinci berbagai hal yang berkaitan dengan Jalan Tol, yang meliputi, antara lain: ketentuan umum; penyelenggaraan jalan tol; pengaturan jalan tol; pembinaan jalan tol; pengusahaan jalan tol; pengawasan jalan tol; Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT); hak dan kewajiban pengguna dan badan usaha jalan tol; ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Dari keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur jalan tol, yang paling relevan untuk diuraikan di sini adalah menyangkut pengusahaan jalan tol25. Pengusahaan jalan tol yang meliputi pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian dan atau pemeliharaan dapat dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan. Oleh karena itu sepanjang dipenuhi persyaratan- persyaratan yang ditetapkan, maka Badan Usaha (termasuk swasta) dapat berpartisipasi dalam pengusahaan jalan tol. Dengan demikian Peraturan Pemerintah ini memberi landasan hukum yang cukup kuat bagi partisipasi sektor swasta. Ketentuan-ketentuan mengenai pengusahaan jalan tol secara rinci mengatur hal-hal yang terkait dengan pengusahaan jalan tol, seperti: bentuk pengusahaan26; pendanaan27; persiapan pengusahaan28; perencanaan teknis29; pengadaan tanah30; pelaksanaan konstruksi31; pengoperasian32; pemeliharaan33; pelelangan pengusahaan jalan tol34; perjanjian pengusahaan jalan tol35; dan tarif tol36.



1.19.       Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang Jalan



1.20.     Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

1.21.  Peraturan Pemerintah No 87 tahun 2003 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi.

1.22.     Peraturan Pemerintah No 62 tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang usaha-usaha tertentu dan/atau di daerah tertentu.

1.23.       Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2000 tentang Pajak Daerah.


1.24.     Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah otonom.

1.25.     Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri tertentu.

1.26.       Peraturan Pemerintah No 44 tahun 1997 tentang Kemitraan.


1.27.     Peraturan Pemerintah No 15 tahun 1999 tentang Bentuk-bentuk Tagihan tertentu yang Dapat Dikompensasikan sebagai Setorah Saham;



1.28.    Instruksi Presiden No 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi
Instruksi Presiden ini merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki iklim investasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam lampiran dari Instruksi ini dijabarkan dalam 5 aspek37, 19 kebijakan38, 85 Program aksi (”action plan”) yang dilengkapi dengan keluaran, sasaran waktu dan penanggungjawab masing-masing39. Instruksi Presiden ini tentu saja mencerminkan keseriusan Pemerintah (minimal Presiden) dalam upaya mendongkrak iklim investasi Indonesia, hal mana tentu saja dapat dianggap merupakan bentuk jaminan dan perlindungan investasi. Namun dalam perjalanannya, yang paling sulit adalah pada konsistensi dan kesungguhan dalam tataran implementasinya, hal mana merupakan salah satu kelemahan mendasar kita yang telah banyak diketahui, dan bahkan seringkali dikeluhkan oleh kalangan investor.

1.29.    Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

Peraturan Presiden ini memberikan dasar hukum bagi kerjasama antara Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, termasuk infrastruktur transportasi. Dalam konteks



tersebut maka peraturan presiden ini lebih memberikan kepastian hukum bagi partisipasi badan hukum (swasta) yang mau melakukan investasi dalam pembangunan infrastruktur transportasi. Salah satu ketentuan yang penting dalam Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 dikaitkan dengan jaminan dan perlindungan investasi adalah ketentuan yang mengatur tentang Pengelolaan Resiko dan Dukungan Pemerintah40. Minimal dalam ketentuan tersebut diatur hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan risiko (”risk management”), termasuk pembebanan risiko bersama (”risk burden sharing”) antara Pemerintah (Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah) dengan Badan Usaha sesuai dengan isi kerjasama. Ketentuan ini tentu saja secara teoritis akan mampu memberikan ketenangan pada investor karena dengan ikut menanggung resiko maka Pemerintah akan serius dan sangat terlibat dalam menunjang keberhasilan investasi.

1.30.    Keputusan   Presiden    No    80    tahun    2003    tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah, terakhir dengan perubahan ke Enam dengan Peraturan Presiden No 85 tahun 2006

Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 beserta segenap perubahannya41 dirancang sebagai pedoman agar pengadaan barang/jasa Pemerintah yang dibiayai dengan APBN/APBD dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan



pelayanan masyarakat42. Ketentuan-ketentuan pokok yang diatur dalam Keppres ini, antara lain: ketentuan umum; pengadaan yang dilaksanakan penyedia barang/jasa; swakelola; pendayagunaan produksi dalam negeri dan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil; pembinaan dan pengawasan; pengembangan kebijakan pengadaan barang/jasa Pemerintah; ketentuan lain-lain; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup. Keppres ini juga dilengkapi dengan penjelasan dan lampiran. Lampiran I terdiri dari 5 bab43 sedangkan Lampiran II terdiri dari 2 contoh formulir44. Apabila diteliti ketentuan yang terdapat pada Keppres No 80 tahun 2003 beserta perubahannya, akan nampak bahwa pengaturannya sangat dipengaruhi dengan pembahasan pada forum World Trade Organization (WTO), khususnya yang berkaitan dengan ”Government Procurement”. Upaya mengikuti standard internasional dalam pengadaan barang/jasa pemerintah tentu saja merupakan insentif, jaminan dan perlindungan terhadap badan usaha asing yang mungkin ikut berpartisipasi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

1.31.    Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden No 65 tahun 2005 tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum

Secara umum ketentuan dalam kedua Peraturan Presiden ini dimaksudkan untuk membantu proses pengadaan tanah bagi kepentingan umum, termasuk untuk kepentingan investasi di bidang infrastruktur transportasi. Peraturan tersebut akan dapat memberikan



kepastian hukum lebih baik bagi kalangan investor yang berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur transportasi, terutama dari sisi waktu dan biaya pembebasan tanah yang harus dikeluarkan. Ini tentu saja dapat diklasifikasikan sebagai bentuk jaminan dan perlindungan investasi. Secara eksplisit misalnya dinyatakan, bahwa yang termasuk pembangunann untuk kepentingan umum meliputi: jalan umum dan jalan tol45; rel kereta api46; pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal47; dan lain-lain.

1.32.     Peraturan Presiden No 42 tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur

Pertimbangan dari dikeluarkannya Peraturan Presiden No 42 tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur adalah untuk lebih mengefektifkan koordinasi dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur melalui penyempurnaan tugas dan fungsi serta keanggotaan komite dimaksud48. Komite yang diketuai Menko Perekonomian dan bertanggungjawab kepada Presiden ini mempunyai tugas pokok49:
i.         merumuskan strategi dalam rangka koordinasi pelaksanaan penyediaan infrastruktur;
ii.         mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri terkait dan Pemerintah Daerah;



iii.          merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan umum (”public service obligation”) dalam percepatan penyediaan infrastruktur;
iv.          menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur.

Infrastruktur dalam Peraturan Presiden ini mencakup: infrastruktur transportasi, disamping infrastruktur lainnya seperti jalan, pengairan, air minum dan sanitasi, telematika, ketenagalistrikan dan pengangkutan minyak dan gas bumi50.

1.33.    Instruksi Presiden No 5 tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan sesudah berakhirnya Program Kerjasama dengan International Monetary Fund

Inpres ini memuat paket kebijakan ekonomi pasca kerjasama dengan IMF yang terutama dilakasanakan pada tahun 2003 dan 2004 dengan sasaran pokok: memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro yang sudah dicapai; melanjutkan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan; dan meningkatkan investasi, ekspor dan penciptaan lapangan kerja. Paket kebijakan ekonomi ini dilengkapi dengan matriks yan g berisi butir-butir kebijakan, rencana tindak, keluaran, sasaran waktu, pelaksana dan penanggung jawabnya. Sifatnya cukup komprehensip dan dalam banyak hal, baik format maupun substansinya diambil alih oleh Inpres No 3 tahun 2006, yang banyak berbeda lebih kepada sasaran waktunya.

1.34.       Keputusan Presiden No 97 tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden No 117 tahun 1998;




1.35.       Keputusan Menteri Keuangan No 518/KMK.01/2005 tanggal 31 Oktober 2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur
Keputusan Menteri Keuangan ini dikeluarkan guna mendukung penyediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan dalam pengelolaan resiko yang dihadapi oleh Pemerintah dalam penyediaan infrastruktur tersebut51. Untuk itu dipandang perlu untuk membentuk suatu Unit Kerja di lingkungan Departemen Keuangan yang akan bertugas untuk mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan resiko yang berpotensi membebani keuangan Negara. Sebelum unit kerja tersebut terbentuk maka perlu dibentuk Suatu Komite Pengelolaan Resiko yang melaksanakan fungsi pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur sampai dengan terbentuknya unit kerja dimaksud.

1.36.     Peraturan    Menteri    Keuangan    No    38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur

Perumusan Peraturan Menteri Keuangan ini dimaksudkan sebagai petunjuk dalam Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan resiko atas Penyediaan Infrastruktur. Ketentuan-ketentuan yang penting dalam Peraturan Menteri tersebut, antara lain: pembentukan Unit Pengelola Resiko; pembagian resiko atas resiko politik (”political risk”), resiko kinerja proyek (”project performance risk”), dan resiko permintaan (”demand risk”); serta pedoman yang mengatur tentang ruang lingkup pengelolaan resiko, jenis resiko dan bentuk dukungan Pemerintah; kriteria pemberian dukungan Pemerintah; prosedur



alokasi dana dalam rangka pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur, serta pelaporan dan pengawasan.

1.37.     Peraturan Menteri Keuangan No 136/PMK.05/2006 tanggal 27 Desember 2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan No 119/PMK.05/2006 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencarian dan Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur


1.38.     Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No 11/SE/M/2005 tanggal 16 November 2005 tentang Pedoman Penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak
Surat Edaran Menteri ini mengatur tentang Penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan Pemerintah tahun Anggaran 2005 dalam rangka menyamakan persepsi dan tertib administrasi dalam implementasinya. Ketentuan-ketentuan yang diatur meliputi: ketentuan umum; lingkup eskalasi harga; cara perhitungan eskalasi harga; sumber dana; mekanisme pengajuan eskalasi harga; mekanisme pengajuan revisi DIPA; serta administrasi kontrak. Ketentuan ini juga penting untuk diketahui oleh kalangan investor guna dijadikan sebagai pedoman dalam penghitungan harga sesuai dengan kontrak mereka (baik barang maupun jasa).

1.39.     Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 295/PRT/M/2005 tentang Badan Pengatur jalan Tol;


1.40.     Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 11/PRT/M/2006 tentang Wewenang dan Tugas Penyelenggaraan Jalan Tol pada Direktorat Jendral Bina Marga, Badan Pengatur Jalan Tol dan Badan Usaha Jalan Tol;



1.41.  Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 9 tahun 2006 tentang Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Trace Jalan Tanah Tinggi Barat/Timur Kemayoran Gempol di Kelurahan Harapan Mulya, Kelurahan Bungur, Kelurahan Utan Panjang, Kelurahan Kebon Kosong, Kelurahan Serdang, Kecamatan Senen, dan Kecamatan Kemayoran Kotamadya Jakarta Pusat.

Daftar Pustaka



i.        Undang-undang No 38 tahun 2004 tentang Jalan;

ii.         Undang-undang   No   25   tahun   2004   tentang   Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
iii.         Undang-undang No 1 tahun 1967 jo UU No 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing;
iv.         Undang-undang No 6 tahun 1968 jo Undang-undang No 12 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri;
v.         Peraturan Pemerintah No 15 tahun 2005 tentang Jalan Tol;

vi.         Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang Jalan;

vii.         Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU);
viii.         Peraturan Presiden No 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur;



ix.         Peraturan Presiden No 42 tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur;
x.         Peraturan Pemerintah No 1 tahun 2007 tentang Pemberlakuan Insentif bberupa PPh bagi Penanaman Modal di Bidang tertentu dan atau daerah tertentu;
xi.         Peraturan Presiden No 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009;
xii.         Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
xiii.         Peraturan Presiden No 65 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;
xiv.         Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang /Jasa Pemerintah;
xv.         Keputusan Presiden No 61 tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
xvi.         Peraturan Presiden No 32 tahun 2005 tentang Perubahan kedua atas Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
xvii.         Peraturan Presiden No 8 tahun 2006 tentang Perubahan ketiga atas Keputusan Presiden No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
xviii.         Keputusan Menteri Keuangan No 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur;
xix.         Peraturan Menteri Keuangan No 38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur;



xx.         Peraturan Menteri Keuangan No 136/PMK.05/2006 tanggal 27 Desember 2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan No 119/PMK.05/2006 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencarian dan Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur.
xxi.       https://www.bphn.go.id/data/documents/aspek_hkm_kontrak_dlm_pemb
_&_pengoperasian_infrastruktur_dg_pola_bot.pdf
xxii.     https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/4993/kp0071998.htm

Comments